MADZHAB SHAHABI
MakalahIni Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu :
M.Fuad Al Amin,Lc.M.P.I
DisusunOleh :
M.UGI SOFYAN FASA
(2021116019)
DWIYANTO
A.(20211161)
Kelas : E
Kelompok : 11
FAKULTAS
TARBIYAH
PRODI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Terdapat sebuah generasi saat nabi Saw,diutus adalah generasi dimana para
sahabat hidup.Mereka adalah sebaik-baik genarasi ,dari aspek keimanan mereka
sangat memegang teguh ajaran islam,dan mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya
melebihi dari segalanya.hal ini bisa dilihat dari kisah para sahabat dalam
mempertahankan aqidah mereka,meskipun harus disiksa dan didera oleh berbagai
siksaan dan cacian dari kafir Quraiys.Mereka adalah generasi yang patut kita
jadikan teladan baik dari kuatnya keimanan,pengaplikasiannya dalam kehidupan
sehari-hari dan menyebarkan ajaran islam kepada yang lain.
Terlepas dari segala keutamaan yang dimilik para sahabat,para ulam berbeda
pendapat mengenai keabsahan segala hal yang sampai pada kita dari sahabat baik
itu berupa perkataan,perbuatan ataupun fatwa sebagai salah satu sumber
pengambilan hukum dalam islam.
B. RUMUSAN
MASALAH
Dari uraian latar belakang di atas,dapat
di ambil rumusan masalah diantaranya sebagai berikut:
1.
Apa pengertian dari madzhab shahabi ?
2.
Bagaimana contoh pelaksanaan dari madzhab shahabi ?
3.
Bagaimana pendapat ulama tentang kehujjahan madzhab
shahabi ?
C. TUJUAN
1.
Untuk menegetahu pengertian dari madzhab shahabi
2.
Untuk mengetahui contoh pelaksanaan dari madzhab shahabi
3.
Untuk mengetahui pendapat ulama tentang kehujjahan masdzhab
shahabi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Shahabat
Sebelum kita membahas lebih jauh
tentang Madzhab Sahabat kita perlu
terlebih dahulu memaham isi apakah
Sahabat yang dimaksud.
Menurut
jumhur ulama,
sahabat adalah
orang yang bertemu dengan Rasulullah saw. serta iman kepadanya, dan bersamanya dalam waktu yang cukup lama, dan ketika meninggal tetap
dalam keadaan beriman.
Menurut
Al-Hafidz Ibnu Hajar, ahli hadits ternama, yang dikatakan sahabat ialah orang
yang berjumpa dengan Rasulullah saw. dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan Islam, baik lama bergaul dengan Rasul
maupun sebentar saja, baik turut berperang maupun tidak, baik dapat
melihat Rasul tetapi tidak duduk dalam satu majelis, ataupun tidak
dapat melihat Rasul karena buta.[1]
Muhammad Abu Zahra dalam bukunya UshulFiqih menyebutkan bahwa yang dimaksud Shahabat dalam
konteks ini adalah orang-orang
yang bertemu Rasulullah
saw. Yang langsung menerima risalahnya, dan mendengar langsung penjelasan
syariat dari beliau.[2]
Diantara
para Sahabat Rasulullah saw. adalah para khulafaurrasyidin, yaitu : Abu Bakar
As-shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib; Abdullah
bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amru bin Ash,
Zaid bin Tsabit, Muadz bin Jabal, dll.
B.
Pengertian Madzhab Shahabi
Pengertian Madzhab Sahabat sendiri
secara etimologi yaitu kata madzhab merupakan
sighat isim makan dari fi’il madli zahaba yang artinya pergi. Oleh karena
itu,mazhab artinya
: tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah :maslak,
thariiqah dan sabiil yang
kesemuanya berarti jalan atau cara.
Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika
cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan madzhab adalah
metode yang dibentuk
setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang
menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya,
dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. Dengan demikian, madzhab sahabat adalah
jalan yang ditempuh para sahabat.
Madzhab Sahabat yang lazimnya juga disebut Qaul
Sahabat maksudnya adalah pendapat-pendapat Shahabat dalam masalah-masalah Ijtihad. Dengan kata lain Qaul Sahabat adalah pendapat para Sahabat tentang
suatu kasus
yang dinukil oleh
para Ulama, baik berupa
fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat
atau hadits.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa
pengertian dari madzhab sahabat adalah jalan yang ditempuh oleh para shahabat dalam menetapkan hukum Islam, yaitu berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijtihad. Jadi Madzhab Sahabat adalah
jalan yang ditempuh
oleh para shahabat
dalam menetapkan hukum Islam
berdasarkan Al-Qur’an, sunnah
dan
hadits. Sedangkan Qaul Sahabat ialah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat
Rasulullah saw., menyangkut hukum
masalah-masalah yang tidak diatur dalam nash.
C.
Pelaksanaan Madzhab Shahabi Dalam Kehidupan Masyarakat
Perbedaan
pendapat para ulama mengenai kehujjahan madzhab shababi sebagai salah satu
sumber hukum,menyebabkan perbedaan pula dalam menghukumi suatu permasalahan
yang tidak ada nash yang menjelaskannya.Berikut ini beberapa contoh dari sekian
banyak contoh yang ada,yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
1.
Hukum shalat jum’at bagi yang shalat i’d
a.
Imam asyafi’i berpendapat bahwa kewajiban shalat jumat
bagi ahli balad adapun ahli qura dirukhsah,imam syafi’i berdalilkan sebuah
riwayat oleh imam malik dari ibnu shihab abi ubaid bekas hamba sahaya ibnu
azhar,dia berkata.
”saya melakukan shalat id bersama utsman bin
affan,maka utsman shalat lalu berkhatbah dan berkata,sesungguhnya telah
berkumpul pada hari ini dua id,maka barang siapa yang hendak menunggu dari ahli
a’liyah maka tunggulah dan barang siapa hendak pulang maka diizinkan padanya.
b.
Imam ahmad berpendapat bahwa shalat jum’at tidak usah
dilakukan bagi mereka yang melaksanakan shalat id baik ahli balad atau ahli
qura keculi imam.Adapun imam ahmad berdalillkan dari yang diriwayatkan iyas bin
abi ramlah asy-syami,dia berkata.SayamelihatMu’awiyahbertanyakepada
Zaid bin Arqam,
”Apakah
engkau pernah mendapatkan dua ‘id bersatu pada satu hari bersama Rasulullah Saw.?,maka Zaid berkata, ”Iya”. “Maka bagaimana
hukumnya?” Zaid menjawab,
”Shalat ‘Id kemudian dirukhsah pada shalat jum’at”. Lalu Zaid
berkata, ”Barang siapa yang
hendak shalat (
shalat jum’at) maka shalatlah”.( HR. Abu Daud).
c.
Adapun imam abu hanifah dan malik berpendapat bahwa
shalat jumat dan shalat id wajib keduanya untuk dilaksanakan ,abu hanifah
berdalillkan bahwa hukum melaksanakan shalat jumat adalah wajib adapun shalat
id maka bagi siapa yang meninggalkannya berarti sesat dan bidah.
2.
Status Pernikahan dalam masa ‘Iddah
a.
Imam Malik, Al-Auza’I dan Al-Laits berpendapat bahwa
mereka harus dipisahkan, dan wanita itu menjadi haram bagi laki-laki tersebut
selamanya. Mereka berpendapat dengan perkataan Umar yang memisahkan antara
Thalhah Al-Asdiah dengan suaminya Rasyid Ats-Tsaqafi ketika mereka menikah pada
masa ‘iddah dari suaminya. Dan berkata, ”Setiap
wanita yang menikah dalam masa iddahnya, apabila suami yang menikahinya itu
belum menggaulinya maka harus dipisahkan keduanya. Kemudian sang wanita
menyempurnakan masa iddahnya. Lalu jika pada masa iddah itu dia menikah lagi
dengan yang lain dan sudah digauli maka harus dipisahkan keduanya. Kemudian
sang wanita menyempurnakan masa ‘iddah dari suami yang pertama lalu dilanjutkan
dengan menjalani masa iddah dari suami yang kedua. Dan antara wanita tersebut
dengan suaminya yang ketiga tidak boleh bersatu selamanya”.
b. Adapun
pendapat yang kedua bahwa dipisahkan keduanya dan sang wanita boleh mendapatkan
maharnya. Dan apabila telah habis masa iddahnya apabila sang wanita berkehandak
untuk menikahinya lagi maka tidak apa-apa. Sebagaimana dijelaskan oleh Ali bin
Abi Thalib.
3.
Hukum potong tangan bagi seorang
pembantu
a. Jumhur ulama
berpendapat bahwa hukum bagi seorang pembantu yang mencuri harta tuannya tidak
dipotong. Adapun Dalilnya:
1) Diriwayatkan
oleh Imam Malik, beliau berkata, ”Telah bercerita kepada kami dari Az-Zuhri
dari As-Saib bin Yazid bahwa Abdullah bin Amar bin Hadhrami datang kepada Umar
bi Khattab dengan seorang hamba, lalu dia berkata, ”Potong tangannya karena dia
telah mencuri”. Umar bertanya, ”Apa yang dicuri olehnya?”, dia menjawab, ”Cermin
istriku yang berharga enam puluh dirham”. Maka Umar berkata, ”Lepaskan saja
karena tidak ada potong tangan bagi pembantu yang mencuri hartamu”.
2) Diriwayatkan
oleh Ibnu Mas’ud bahwa seseorang datang kepadanya lalu berkata, ”Budak saya mencuri harta milik budak saya
yang lain”, lalu Ibnu mas’ud berkata, ”Tidak
ada potong tangan bagi “harta” (baca: budak) yang mencuri “harta” (baca:
budak).
b. Adapun Daud
Adz-dzhahiri berpendapat bahwa potong tangan tetap berlaku secara mutlak. Dengan
berdalilkan Firman Allah Swt.
c.
والسارقة والسارق ايديهما فاقطعوا
ايديهما جزاء بما كسب نكلا من الله والله عزيز حكيم 38
Artinya: ”Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maa’idah: 38)
D. Pendapat Ulama Tentang Kehujjahan Madzhab
Shahabi
Pendapat sahabat tidak
menjadi hujjah atas sahabat lainnya. Hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat sahabat bias
menjadi hujjah atas tabi’n dan orang-orang setelah tabi’in. Ulama ushul memilik itiga pendapat, di
antaranya adalah[3]:
1. Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab Sahabat (qauluss shahabi) dapat menjadi hujjah.
a.
Pendapat ini berasal dari Imam
Maliki, Abu bakarar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam
Syafi’i dalam madzhab qadimnya,
termasuk juga Imam
Ahmad Bin Hanbal dalam saturiwayat.Alasan pendapat ini adalah firman Allah
SWT.
كنتم خير امة اخرجت للناس تاءمرون
بالممعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ولو ءامن اهل الكتب لكان خيرالهم منهم
المؤمنون واكثرهم الفسقون
Artinya: “Kamu adalahumat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar”. (QS. Ali-Imran: 110)
Ayat ini merupakan kitab dari Allah
untuk sahabat-sahabat
agar mereka menganjurkan ma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib,
karena itu pendapat
para sahabat wajib diterima.
b. Alasan yang
kedua adalah hadits Rasul saw
أَصْحَابِيْ كَالنُّجُوْمِ
بِأَيِّهِمْ اِقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ
artinya; “Sahabatku bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang
kamu ikuti pasti engkau mendapat petunjuk”.
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah
SAW menjadikan ikutan kepada siapa saja dari sahabatnya sebagai dasar memperoleh petunjuk (hidayah). Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap pendapat dari mereka itu adalah hujjah dan wajib kita terima/amalkan.
2. Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab sahabat (qauluss shahabi) secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum.Pendapat ini berasal dari jumhur Asya’iyah dan Mu’tazilah, Imam
Syafi’i dalam mazhabnya
yang jaded (baru) juga Abu Hasan al-Kharha dari golongan Hanafiyah[4]
Alasan mereka antara lain
adalah firma Allah:
فاعتبروا ياولى الابصر
Artinya: “Maka ambillah (kejadianitu) untuk
menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan”. (QS. al-Hasyr: 2)
Maksud ayat
tersebut adalah bahwa Allah SWT
menganjurkan kepada
orang-orang yang mempunyai
pandangan/pikiran
untuk mengambil i’tibar (pelajaran).
Yang dimaksud i’tibar dalam ayat tersebut ialah qiyas
dan ijtihad, sedangkan dalam hal
mujtahid sama saja apakah mujtahid itu sahabat atau bukan
sahabat.
3.
Ulama Hanafiyah,
Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat
dari Imam Ahmad bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat
itu menjadi hujjah dan apabila
pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas
maka pendapat sahabat didahulukan. Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam suratat-Taubah ayat
100:
وااسبقون
الاولون من المهجرين والانصار والدين اتبعوهم باحسن رضى الله عنهم ورضوا
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka”. (QS. at-Taubah: 100)
Dalam ayat ini menurut
mereka, Allah secara
jelas memuji
para sahabat karena merekalah yang
pertama kali masuk Islam.[5]
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain
yang berbunyi:
“Sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada)
masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”[6]
Dari
segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah
karena terdapat kemungkinan bahwa pendapatmeraka itu berasal
dari Rasulullah.
Disamping itu karena mereka sangat
dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal ini
memberikan pengalaman
yang sangat luas kepada mereka dalam
memahami ruh syari’at dan tujuan-tujuan persyari’atan hokum syara’.
Dengan bergaul dengan Rasulullah berarti mereka
merupakan murid-murid langsung dari
beliau dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena
itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-Qiyas, maka sangat mungkin ada
landasan hadits
yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifatal-‘Adalah),
yang sangat sulit diterima menurut kebiasaan jika melahirkan pendapat syara’tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut
syara’[7]
KESIMPULAN
Madzhab shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW
tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran
dan sunnah Rasulullah.adapun mengenai
kehujjahannya,para ulama saling berbeda pendapat.Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab Sahabat (qaulussshahabi) dapat menjadi hujjah.Satu
pendapat yang lain mengatakan bahwa
mazhab sahabat (qaulussshahabi) secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah atau dasar hukum. Ulama
Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim
Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hanbal, menyatakan bahwa
pendapat sahabat itu menjadi hujjah
dan apabila pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat sahabat didahulukan.untuk kejadian yang menyangkut madzhab sahabat dalam masyarakat juga cukup
banyak,dan disitu juga terjadi perbedaan pendapat.
KRITIK DAN SARAN
Alkhamdulillahirobbilalamin.Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat untuk kita
semua. Mohon maaf atas kesalahan-kesalahan, dan kebaikan datangnya hanya dari
Allah SWT.kritik dan saran senantiasa kami butuhkan demi kesempurnaan makalah
kami di kemudian hari. Terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam Muhammad Abu
Zahrah, UshulFiqh, (DarulFikri Al-Arabi, 1957)
Drs. SyarminSyukur,
Sumber-sumberHukum Islam, (Al-Ikhlas,1993)
KhairulUmam, dkk,
UshulFiqih I, cet. 2, (Bandung: PustakaSetia, 2000)
Rahman
Dahlan,M.A,UshulFiqh, Cet.1, (Jakarta: Amzah, 2010)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B.
SARAN
Penulis
menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat banyak
kesalahan dan kekhilafan penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk penulis guna mengingatkan dan memperbaiki.Terakhir penulis
mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT serta terimakasih kepada pihak-pihak
yang membantu dalam proses pembuatan makalah.
DAFTAR
PUSTAKA
Alhamdulillah dapat ilmu dri blog antum, semoga bermanfaat buat semuanya
ReplyDelete